Merekonstruksi sejarah Kerajaan Selaparang
menjadi sebuah bangunan kesejarahan yang utuh dan menyeluruh agaknya
memerlukan pengkajian yang mendalam. Permasalahan utamanya terletak pada
ketersediaan sumber-sumber sejarah yang layak dan memadai.
Sumber-sumber yang ada sekarang, seperti Babad dan lain-lain memerlukan
pemilihan dan pemilahan dengan kriteria yang valid dan reliable. Apa
yang tertuang dalam tulisan sederhana ini mungkin masih mengundang
perdebatan. Karena itu sejauh terdapat perbedaan-perbedaan dalam
pengungkapannya akan dlmuat sebagai gambaran yang masih harus ditelusurl
sebagal bahan pengkajlan leblh ianjut.
Agak sulit membuat kompromi penafsiran
untuk menemukan benang merah ketiga deskripsi di atas. Minimnya
sumber-sumber sejarah menjadi alasan yang tak terelakkan.
Zaman Majapahit
Menurut Lalu Djelenga (2004), catatan
sejarah kerajaan-kerajaan di Lombok yang lebih berarti dimulai dari
masuknya Majapahit melalui exspedisi di bawah Mpu Nala pada tahun 1343,
sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa Maha Patih Gajah Mada yang kemudian diteruskan dengan inspeksi Gajah Mada sendiri pada tahun 1352.
Ekspedisi ini, lanjut Djelenga, meninggalkan jejak kerajaan Gelgel di Bali. Sedangkan di Lombok,
dalam perkembangannya meninggalkan jejak berupa empat kerajaan utama
saling bersaudara, yaitu Kerajaan Bayan di barat, Kerajaan Selaparang di
Timur, Kerajaan Langko di tengah, dan Kerajaan Pejanggik di selatan.
Selain keempat kerajaan tersebut, terdapat kerajaan-kerajaan kecil,
seperti Parwa dan Sokong serta beberapa desa kecil, seperti Pujut, Tempit, Kedaro, Batu Dendeng, Kuripan, dan Kentawang. Seluruh kerajaan dan desa ini selanjutnya menjadi wilayah yang merdeka, setelah kerajaan Majapahit runtuh.
Di antara kerajaan dan desa itu yang paling terkemuka dan paling terkenal adalah Kerajaan Lombok yang berpusat di Labuhan Lombok.
Disebutkan kota Lombok terletak di teluk Lombok yang sangat indah dan
mempunyai sumber air tawar yang banyak. Keadaan ini menjadikannya banyak
dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari Palembang, Banten, Gresik, dan Sulawesi.
Masuknya Islam
Belakangan, ketika Kerajaan ini dipimpin
oleh Prabu Rangkesari, Pangeran Prapen, putera Sunan Ratu Giri datang
mengislamkan kerajaan Lombok. Dalam Babad Lombok disebutkan, pengislaman
ini merupakan upaya dari Raden Paku atau Sunan Ratu Giri dari Gersik, Surabaya yang memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam ke berbagai wilayah di Nusantara.
“Susuhnii Ratu Giri memerintahkan
keyakinan baru disebarkan ke seluruh pelosok. Dilembu Manku Rat dikirim
bersama bala tentara ke Banjarmasin, Datu bandan di kirim ke Makasar,
Tidore, Seram dan Galeier, dan Putra Susuhunan, Pangeran Prapen ke Bali,
Lombok, dan Sumbawa. Prapen pertama kali berlayar ke Lombok, dimana
dengan kekuatan senjata ia memaksa orang untuk memeluk agama Islam.
Setelah menyelesaikan tugasnya, Prapen berlayar ke Sumbawa dan Bima.
Namun selama ketiadaannya, karena kaum perempuan tetap menganut
keyakinan Pagan, masyarakat Lombok kembali kepada faham pagan. Setelah
kemenangannya di Sumbawa dan Bima,
Prapen kembali, dan dengan dibantu oleh Raden Sumuliya dan Raden Salut,
ia mengatur gerakan dakwah baru yang kali ini mencapai kesuksesan.
Sebagian masyarakat berlari ke gunung-gunung, sebagian lainnya
ditaklukkan lalu masuk Islam dan sebagian lainnya hanya ditaklukkan.
Prapen meninggalkan Raden Sumuliya dan Raden Salut untuk memelihara
agama Islam, dan ia sendiri bergerak ke Bali, dimana ia memulai negosiasi (tanpa hasil) dengan Dewa Agung Klungkung.”
Proses pengislaman oleh Sunan Prapen
menuai hasil yang menggembirkan, hingga beberapa tahun kemudia seluruh
pulau Lombok memeluk agama Islam, kecuali beberapa tempat yang masih
memepertahankan adat istiadat lama.
Sementara di Kerajaan Lombok, sebuah kebijakan besar dilakukan Prabu Rangkesari dengan memindahkan pusat kerajaan ke Desa Selaparang atas usul Patih Banda Yuda dan Patih Singa Yuda.
Pemindahan ini dilakukan dengan alasan letak Desa Selaparang lebih
strategis dan tidak mudah diserang musuh dibandingkan posisi sebelumnya.
Menurut Fathurrahman Zakaria, dari
wilayah pusat kerajaan yang baru ini, panorama Selat Alas yang indah
membiru dapat dinikmati dengan latar belakang daratan Pulau Sumbawa dari
ujung utara ke selatan dengan sekali sapuan pandangan. Dengan demikian
semua gerakan yang mencurigakan di tengah lautan akan segera dapat
diketahui. Wilayah ini juga memiliki daerah belakang berupa bukit-bukit
persawahan yang dibangun dan ditata rapi bertingkat-tingkat sampai hutan Lemor yang memiliki sumber air yang melimpah.
Di bawah pimpinan Prabu Rangkesari,
Kerajaan Selaparang berkembang menjadi kerajaan yang maju di berbagai
bidang. Salah satunya adalah perkembangan kebudayaan yang kemudian
banyak melahirkan manusia-manusia sebagai khazanah warisan tradisional
masyarakat Lombok hari ini. Dengan mengacu kepada ahli sejarah
berkebangsaan Belanda L. C. Van den Berg yang menyatakan bahwa,
berkembangnya Bahasa Kawi sangat mempengaruhi terbentuknya alam pikiran
agraris dan besarnya peranan kaum intelektual dalam rekayasa sosial
politik di Nusantara, Fathurrahman Zakaria (1998) menyebutkan bahwa para
intelektual masyarakat Selaparang dan Pejanggik sangat mengetahui
Bahasa Kawi. Bahkan kemudian dapat menciptakan sendiri aksara Sasak yang
disebut sebagai jejawen. Dengan modal Bahasa Kawi yang dikuasainya,
aksara Sasak dan Bahasa Sasak, maka para pujangganya banyak mengarang,
menggubah, mengadaptasi, atau menyalin manusia Jawa kuno ke dalam lontar-lontar Sasak.
Lontar-lontar dimaksud, antara lain Kotamgama, lapel Adam, Menak Berji,
Rengganis, dan lain-lain. Bahkan para pujangga juga banyak menyalin dan
mengadaptasi ajaran-ajaran sufi para walisongo,
seperti lontar-lontar yang berjudul Jatiswara, Lontar Nursada dan
Lontar Nurcahya. Bahkan hikayat-hikayat Melayu pun banyak yang disalin
dan diadaptasi, seperti Lontar Yusuf, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Sidik
Anak Yatim, dan sebagainya.
Dengan mengkaji lontar-lontar tersebut,
menurut Fathurrahman Zakaria (1998) kita akan mengetahui prinsip-prinsip
dasar yang menjadi pedoman dalam rekayasa sosial politik dan sosial
budaya kerajaan dan masyarakatnya. Dalam bidang sosial politik misalnya,
Lontar Kotamgama lembar 6 lembar menggariskan sifat dan sikap seorang
raja atau pemimpin, yakni Danta, Danti, Kusuma, dan Warsa. Danta artinya
gading gajah; apabila dikeluarkan tidak mungkin dimasukkan lagi. Danti
artinya ludah; apabila sudah dilontarkan ke tanah tidak mungkin dijilat
lagi. Kusuma artinya kembang; tidak mungkin kembang itu mekar dua kali.
Warsa artinya hujan; apabila telah jatuh ke bumi tidak mungkin naik
kembali menjadi awan. Itulah sebabnya seorang raja atau pemimpin
hendaknya tidak salah dalam perkataan.
Selain itu, dalam lontar-lontar yang ada
diketahui bahwa istilah-istilah dan ungkapan yang syarat dengan ide dan
makna telah dipergunakan dalam bidang politik dan hukum, misalnya kata
hanut (menggunakan hak dan kewajiban), tapak (stabil), tindih (bertata
krama), rit (tertib), jati (utama),tuhu (sungguh-sungguh), bakti (bakti,
setia), atau terpi (teratur). Dalam bidang ekonomi, seperti itiq
(hemat), loma (dermawan), kencak (terampil), atau genem (rajin).
Kemajuan Kerajaan Selaparang ini membuat
kerajaan Gelgel di Bali merasa tidak senang. Gelgel yang merasa sebagai
pewaris Majapahit, melakukan serangan ke Kerajaan Selaparang pada tahun
1520, akan tetapi monemui kegagalan.
Mengambil pelajaran dari serangan yang
gagal pada 1520, Gelgel dengan cerdik memaanfaatkan situasai untuk
melakukan infiltrasi dengan mengirimkan rakyatnya membuka pemukiman dan
persawahan di bagian selatan sisi barat Lombok yang subur. Bahkan
disebutkan, Gelgel menempuh strategi baru dengan mengirim Dangkiang
Nirartha untuk memasukkan faham baru berupa singkretisme Hindu-Islam.
Walau tidak lama di Lombok, tetapi ajaran-ajarannya telah dapat
mempengaruhi beberapa pemimpin agama Islam yang belum lama memeluk agama
Islam. Namun niat Kerajaan Gelgel untuk menaklukkan Kerajaan Selaparang
terhenti karena secara internal kerajaan Hindu ini juga mengalami
stagnasi dan kelemahan di sana-sini.
Kedatangan VOC Belanda ke Indonesia
yang menguasai jalur perdagangan di utara telah menimbulkan kegusaran
Gowa, sehingga Gowa menutup jalur perdagangan ke selatan dengan cara
menguasai Pulau Sumbawa dan Selaparang. Dan untuk membendung misi
kristenisasi menuju ke barat, maka Gowa juga menduduki Flores Barat
dengan membangun Kerajaan Manggarai.
Ekspansi Gowa
ini menyebabkan Gelgel yang mulai bangkit tidak senang. Gowa dihadapkan
pada posisi dilematis, mereka khawatir Belanda memanfaatkan Gelgel.
Maka tercapai kesepakatan dengan Gelgel melalui perjanjian Saganing pada
tahun 1624, yang isinya antara lain Gelgel tidak akan bekerja sama
dengan Belanda dan Gowa akan melepaskan perlindungannya atas Selaparang,
yang dianggap halaman belakang Gelgel.
Akan tetapi terjadi perubahan sikap
sepeninggal Dalem Sagining yang digantikan oleh Dalem Pemayun Anom.
Terjadi polarisasi yang semakin jelas, yakni Gowa menjalin kerjasama
dengan Mataram di Jawa dalam rangka menghadapi Belanda. Sebaliknya
Belanda berhasil mendekati Gelgel, sehingga pada tahun 1640, Gowa masuk
kembali ke Lombok. Bahkan pada tahun 1648, salah seorang Pangeran
Selaparang dari Trah Pejanggik bernama Mas Pemayan dengan gelar Pemban
Mas Aji Komala, diangkat sebagai raja muda, semacam gubernur mewakili
Gowa, berkedudukan di bagian bara pulau Sumbawa.
Akhirnya perang antara Gowa dengan
Belanda tidak terelakkan. Gowa melakukan perlawanan keras terutama
dibawah pimpinan Sultan Hasanuddin yang dijuluki Ayam Jantan dari Timur.
Sejarah mencatat Gow harus menerima perjanjian Bungaya pada tahun 1667.
Bungaya adalah sebuah wilayah yang terletak disekitar pusat kerajaan
Gelgel di Klungkung yang menandai eratnya hubungan Gelgel-Belanda. Konon
Gelgel berusaha memanfaatkan situasi dengan mengirimkan ekspedisi
langsung ke pusat pemerintahan Selaparang pada tahun 1668-1669, tetapi
ekspedisi tersebut gagal.
Sekalipun Selaparang unggul melawan
kekuatan tetangganya, yaitu Kerajaan Gelgel, namun pada saat yang
bersamaan, suatu kekuatan baru dari arah barat telah muncul pula. Embrio
kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15 dengan datangnya para
imigran petani liar dari Karang Asem (Bali) secara bergelombang, dan
mendirikan koloni di kawasan Kotamadya Mataram sekarang ini. Kekuatan
itu telah menjelma sebagai sebuah kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan
dan Pagesangan, yang berdiri pada tahun 1622.
Namun bahaya yang dinilai menjadi
ancaman utama dan akan tetap muncul secara tiba-tiba yaitu kekuatan
asing, Belanda, yang sewaktu-waktu akan melakukan ekspansi. Kekuatan
dari tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat mampu
dipatahkan. Sebab itu sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah
kekuasaannya di bagian barat ini berdiri, hanya diantisipasi dengan
menempatkan pasukan kecil di bawah pimpinan Patinglaga Deneq Wirabangsa.
Di balik itu, memang ada faktor-faktor
lain terutama masalah perbatasan antara Selaparang dan Pejanggik yang
tidak kunjung selesai. Hal ini menyebabkan adanya saling mengharapkan
peran yang lebih di antara kedua kerajaan serumpun ini. Atau saling
lempar tanggung jawab. Dalam kecamuk peperangandan upaya mengahadapi
masalah kekuatan yang baru tumbuh dari arah barat itu, maka secara
tiba-tiba saja, tokoh penting di lingkungan pusat kerajaan, yaitu patih
kerajaan sendiri yang bernama, Raden Arya Banjar Getas, ditengarai
berselisih pendapat dengan rajanya. Raden Arya Banjar Getas akhirnya
meninggalkan Selaparang dan hijrah mengabdikan diri di Kerajaan
Pejanggik.yang dulu (Kerajaan Pejanggik-red) berada di Daerah Pejanggik yang berada di Kecamatan Jonggat
Atas prakarsanya sendiri, Raden Arya Banjar Getas dapat menyeret Pejanggik bergabung dengan sebuah Ekspedisi Tentara Kerajaan Karang Asem
yang sudah mendarat menyusul di Lombok Barat. Semula, informasi awal
yang diperoleh, maksud kedatangan ekspedisi itu akan menyerang Kerajaan
Pejanggik.
Namun dalam kenyataan sejarah, ekspedisi
itu telah menghancurkan Kerajaan Selaparang. Dan Kerajaan Selaparang
dapat ditaklukkan hampir tanpa perlawanan, karena sudah dalam keadaan
sangat lemah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1672. Pusat kerajaan
hancur; rata dengan tanah, dan raja beserta seluruh keluarganya mati
terbunuh.
Selaparang jatuh hanya tiga tahun
setelah menghadapi Belanda. Empat belas tahun kemudian, pada tahun 1686
Kerajaan Pejanggik dibumi hanguskan oleh Kerajaan Mataram Karang Asem.
Akibat kekalahan Pejanggik, maka Kerajaan Mataram mulai berdaulat
menjadi penguasa tunggal di Pulau Lombok setelah sebelumnya juga meluluh
lantakkan kerajaan-kerajaan kecil lainnya. (sumber)
0 Response to "Sejarah Di Pulau Lombok"
Post a Comment